Sabtu - 2 Juni 2007 Anakku berumur 1 tahun

        Alhamdulillah, besok (sebentar lagi), 2 juni 2007,  genap 1 tahun umur Anak kami yang pertama. Bukanlah perayaan yang terpenting bagi kami. Melainkan makna satu tahun umur dia yang jauh lebih penting. Bagi kami hari-hari adalah sama saja, namun pemaknaan tempo waktu sendiri itulah yang penting. Dalam hal ini dalam rentang satu tahun hal apakah yang telah kami lakukan.

        Kembali bercerita tentang anak kami, Ia terlahir dengan berat badan 3.3 kg / panjang badan 49 cm. Kemudian kami beri nama Fatih Abdurrahman Rahmat. Fatih bermakna pembuka, pemenang. Abdurrahman bermakna hamba dari Allah yang Rahman (maha pengasih) - diambil dari hadits Rasulullah: "Sebaik-baik nama adalah Abdullah dan Abdurrahman". Rahmat diambil dari namaku (sebenarnya namaku Rakhmat adalah salah ketik sekretaris desa waktu itu. Hingga aku berumur 12 tahun, orangtuaku baru sadar setelah buka akta ternyata bernama Rakhmat bukan Rahmat). Ya… anak pertama kami merupakan suatu Rahmat dan anugerah bagi kami. Betapa tidak, kami mempunyai anak tidak lama setelah menikah dan berkelamin laki-laki sesuai harapan kami. Kami sangat bersyukur dengan Anugerah ini.

        Setiap insan mempunyai kisah yang bisa diambil hikmahnya, demikian pula dengan kisah kelahiran anak kami. Saat hamil, istri belum selesai mengambil co-as di kedokteran, sementara aku harus bekerja di perusahaan Migas BUMN di Prabumulih Sumatera Selatan, 90 KM / 2 jam dari Palembang. Jadi di awal kehamilan kami harus berpisah. Saat kandungan awal bulan pertama pun sempat terjadi pendarahan, alhamdulillah bisa diatasi. Saat kandungan berumur 3 bulan barulah kami bersama. Namun itu pun tidak berlangsung terus menerus. Saat kandungan 6 bulan, istri sempat pulang ke Jogja sendiri (jadi Prabumulih - Jogja pp), padahal membutuhkan waktu setidaknya 8 jam perjalanan darat dan udara. Hal itu terpaksa kami lakukan karena ada urusan mendadak dan aku harus ke lokasi pemboran yang lumayan jauh jaraknya, dan kami harus berpisah setidaknya 2 minggu.

        Saat usia kehamilan 8 bulan (tepatnya 33 minggu), aku antar istriku kembali ke Jogja. Nekad memang untuk naik pesawat dan perjalanan jauh di usia kandungan lewat 7 bulan. Hal ini kami lakukan karena istri ingin sekali melahirkan di Jogja, selain dekat dengan orang tua, juga karena di Jogja kami bisa dilayani dokter kandungan wanita. Hal ini lebih syar'ie (sesuai agama) bagi kami. Dan…. Kami berpisah lagi…. Aku harus kembali kerja ke Prabumulih.

        Tujuh minggu pun berlalu, HPL (Hari Perkiraan Lahir) anak kami adalah hari Sabtu, 28 Mei 2006. tapi entah mengapa aku yakin bahwa lahirnya akan mundur. Namun untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, aku berani berangkat ke Jogja hari rabu walaupun sempat dimarahi bos karena pulang lebih awal. Waktu itu, jumat adalah hari libur sehingga susah untuk mencari tiket untuk hari kamis. Hari kamisnya ambil cuti sehari. Waktu itu aku nekad saja, tidak apa-apa dimarahi bos, karena aku merasa harus pulang hari Rabu. Ternyata firasat aku benar. Hari kamis dan jumat beberapa penerbangan pesawat jakarta-jogja diundur, dialihkan ke solo, bahkan ada yang dibatalkan karena ada hujan debu merapi.

        Sehari sebelum melahirkan…. 27 Mei 2006 adalah hari yang tak bisa dilupakan masyarakat Jogja dan sekitarnya. Pagi itu, gempa terjadi. Pada pagi hari sekitar pukul 06.00. tidak ada yang menyangka gempa hebat akan mengguncang jogja. Saat itu aku berfikir bahwa saat itu merapi meletus. Maklum, mertua kami tinggal di daerah perbatasan dengan Magelang, termasuk kaki gunung Merapi. Ternyata dugaan kami salah. Gempa yang terjadi adalah gempa tektonik karena tumbukan dua lempeng bumi.

        Saat gempa terjadi, suasana sungguh panik. Aku dan istri sampai berlari ke arah yang berlawanan. Bahkan, istri sempat terjatuh. Alhamdulillah hanya terjatuh terduduk sehingga tidak membahayakan janin. Sesaat setelah gempa, rumah sakit penuh. Aku masih yakin bahwa kelahiran akan mundur…..  Alhamdulillah rumah mertua rudak tidak parah.

        Sabtu aku masih jaga-jaga di rumah untuk menenangkan istri. Selain juga sabtu sore ada walimah teman istri yang menikah. Hari Minggu baru aku berani keliling jogja untuk kontak beberapa teman dan melihat keadaan yang ada. Setelah sempat mencari beberapa karton mie dan juga bensin, perjalanan kami tujukan ke Bantul, tempat beberapa pondok hancur. Aku mendengar berita bahwa pondok dimana dulu waktu kuliah aku sempat kesana ternyata sudah hancur. Bahkan ada beberapa santri yang meninggal. Juga dapat info di beberapa tempat susah mendapatkan bensin……. Setelah keliling bantul, Minggu sore aku pulang ke rumah mertua di Sleman (jogja bagian utara)

        Hari senin, 30 Mei aku ada dinas di bandung. Jadi aku berangkat Minggu malam sambil berpesan pada istri: "Yang, tolong jaga anak kita" (aku biasa memanggil ayang-dari kata akung- kepada istri). Tidak lupa aku elus perut istri "Nak, yang baik sama umi, lahirnya nunggu abi pulang ya, Insya Allah hari Jumat Abi sudah di Jogja lagi. Kalau lahirnya gak hari Jumat ya hari Senin saja ya, 3 hari setelahnya". Kemudian aku cium perut istri.

        Di Bandung, perjalanan aku lakukan dengan kereta. Masih sedih membayangkan peristiwa gempa tersebut…… Alhamdulillah aku menjalankan dinas dengan persaan tenang. Aku masih yakin bahwa anak kami mennggu kedatangan ayahnya :). Kamis sore aku kembali pulang ke Jogja dengan kereta.

        Sekitar jam satu malam aku sampai stasiun Tugu Jogja. Namun aku mampir ke kost adik yang masih dekat dengan tugu. Baru jam 7 pagi aku dijemput kaka ipar menuju rumah. Alhamdulillah keadaan istri baik-baik saja. Namun dia sudah mengalami gejala mules sejak malam jam satuan…. Istri masih yakin ini mules biasa, namun justru aku yang khawatir. Aku yakin kelahiran sudah dekat. Jadi aku kontak beberapa teman istri yang ada di Rumah Sakit. Menanyakan apakan ada Ruang Bersalin yang kosong, mengingat beberpa hari sebelumnya rumah sakit penuh. Bahkan pasien dirawat sampai di tempat parkir. Dia pun minta waktu untuk mencari. Alhamdulillah ada satu kamar kosong. Jam 10 siang ketuban istri pecah. Aku minta kakak ipar yang nyetir mobil ke RS setelah menjemput ibu mertua. Ternyata, sampai di Rumah sakit tidak ada kamar kosong. Bagi aku tidak masalah, yang penting melahirkan dulu. Setelah diperiksa perawat, ternyata baru bukaan satu. Karena hari itu hari jumat, aku terpaksa mengantar kakak yang masih memakai celana pendek untuk pulang sholat Jumat.

        Jam 13.00 dapat kabar kalau istri sudah tidak kuat lagi. Padahal aku baru pulang sholat jumat dan makan beberpa suap nasi. Langsung aku tancap gas kembali ke RS. Entah berapa kecepatan mobil saat itu di jalan yang lumayan ramai. Sampai di RS langsung aku menemui istri yang sudah berada di ruang bersalin. Ibu sempat cerita kalau tadi jam 12 baru bukaan 2. istri aku makin shock karena 2 jam baru namabah satu bukaan. Untuk melahirkan perlu bukaan 10. nah…. Silahkan dihitung berapa lama menahan  sakitnya? Wajahnya pucat dan rasa kesakitan jelas tergambar di raut wajahnya. Kemudian perawat minta Ibu keluar. Maksimal satu orang yang bisa menemani istri melahirkan. Saat pukul 13.30 ternyata sudah bukaan 4.

        Sungguh aku tidak tega melihat wajah istri. Berkali ku kecup keningnya. Aku dengar dia masih berdzikir menyebut nama Asma Allah dengan lirih. Dokter kandungan pun datang. Ternyata proses bukaan berjalan sangat cepat. Dokter kandungan pun tidak menduganya. Proses persalinan pun dimulai. Alhamdulillah aku berada di sampingnya, bisa membantu istri mengatur nafas. Istriku yang sering melihat proses kehamilan pun lupa bagaimana cara mengambil nafas. Dokter mengurusi bayi yang akan keluar, sementara saya memandu istri bagaimana mengambil nafas dan tidak kehilangan momen. "ambil nafas yang….. Uuuuffffff… tahan….. Lepas pelan-pelan…. Ambil nafas lagi pelan2…. Nafas yang teratur……" Sempat kelahiran berhenti sejenak karena istri kurang mengambil nafas, saat kepala bayi sudah mulai terlihat.

        Pukul 2 siang lewat sedikit, akhirnya anak pertama kami lahir dengan cara normal…. Sebuah anugerah dari Allah. Aku pun memeluk istri. Tak lupa kuucapkan pujian bagi Allah, kemudian memuji kesabaran istri. Istri pun tak lupa berterima kasih karena sudah dipandu.

        Tidak lama setelah lahir…. Merapi pun meletus. Saat fatih berumur 7 hari saat aqiqah, kami mandi abu gunung merapi.

Semoga kelak engkau menjadi anak yang kuat…...

Note:
Terinspirasi oleh cerita kami yang 'meminta bayi lahir hari Jumat setelah ayah pulang, atau senin sekalian saja' ternyata juga diterapkan oleh beberapa teman dan berhasil. Mereka melakukan hal ini setelah lama menunggu kelahiran tidak kunjung datang. Law of Attraction ataukah sugesti?

       



1 comments:

Anonymous June 8, 2007 at 1:54 PM

Baca cerita kelahiran Fatih aku bener-bener merinding dengan segala rintahang dan hambatan kamu sekeluarga ko. Inspiratif sekali nilai sebuah kesabaran dan perjuangan. Jadi anak sholeh untuk Fatih ya.....amien.